My Boss is My Rival
“Kamu mau apa? Saya belum mandi,” ucap Arzhel pada Gia yang sibuk mengendus bau tubuhnya. Tangan kekarnya sibuk mengetik pekerjaan kantornya untuk rapat besok bersama staff kantor.
Gia terus melakukannya. Membuat Arzhel tidak bisa menyembunyikan senyum miringnya yang tampan. Entah dia menikmatinya, atau terlalu lucu baginya.
“Gia…”
“Hm?”
“Saya belum mandi.”
“Tau.”
“Terus?”
Tangannya masih mengetik mesin lipat itu. Matanya masih fokus pada layar. Pekerjaannya cukup banyak.
“Justru aku suka bau pak Arzhel yang belum mandi.”
Tangan Arzhel terhenti dan melihat Gia dengan tatapan heran. Membuat Gia menegakkan tubuhnya yang semula bermanja-manja dengan suaminya ini. “Kenapa? Ada apa?”
Tatapan heran Arzhel menyadarkan Gia akan ucapannya. “Ah…”
“Kamu ngga tau, ya, pak – kalau bau cowo yang wangi itu surga buat perempuan?”
Arzhel menggeleng.
“Bukan wangi parfum mahal. Tapi bau alami. Dan aku suka bau pak Arzhel,” ucapan yang lolos dengan senyuman beribu arti, “wangi.” Terlihat aneh, Gia menjelaskan. “Tau ngga, sih, pak – bukan yang cabul mesum gitu tapi memang bau wangi aja. Suka jadinya. Adem. Enak aja diendus.”
Ucapan yang sangat bahaya di malam hari, membuat Arzhel hampir saja kehilangan akal. Apalagi Gia sangat cantik jika dilihat dari dekat.
Tidak bertanya lebih jauh, Arzhel berhasil mengalihkan pikirannya dan melanjutkan pekerjaannya kembali.
“Pak?”
“Hm…”
“Sambil ngerjain, Gia mau tanya. Boleh, kan?” Arzhel mengangguk. “Sewaktu, pak Arzhel serius buat cinta sama 1 orang selain Gia sebelum 2 tahun, apa bapak bakal ceraiin Gia lebih cepat?”
Untuk kedua kalinya gerakan tangan Arzhel yang cepat itu terhenti spontan. Pertanyaan Gia ternyata cukup serius dari perkiraannya tadi.
Sebenarnya, Gia hanya menutupi pikiran tidak – percaya dirinya dengan sikap yang sengaja ia pertahankan untuk menutupi semua. Bohong jika Gia tidak terpengaruh akan rasa yang sudah ia tahan sebelum menerima cincin pernikahan. Sempat, tapi ia berusaha.
Gia juga takut ditinggal.
Gia juga ternyata takut Arzhel berpaling
Seharusnya tidak, seharusnya jangan.
“Ini pertanyaan serius sebenarnya, tapi kalau bapak mau anggap ini bercandaan juga itu ngga masalah. Karna Gia ngga akan sakit hati, Gia tau kalau ini semua cuma kontrak. Saya tau, ko, Pak.”
Entah mengapa, ucapan asal dari Gia ini sedikit membutnya kesal dan menyakiti harga dirinya. Oh – bukan, mungkin saja hati nya?
Arzhel memalingkan dan terdiam, seperti banyak narasi acak muncul dari pikirannya. Bagaimana ia harus menanggapi ini? Pikiran Gia bahkan tidak ada dalam kepalanya.
“Apa jawaban Bapak?”
Arzhel masih terdiam, sebelum tangan kirinya mendorong leher Gia dan mendekatkannya pada pundaknya. Mata Gia sempat membola. “Lanjutin,” jawabnya.
Gia spontan menjauh. “Lanjutin? Apa?”
Arzhel menatap netra Gia cukup lama. Jarak antara wajah mereka pun hanya sejengkal. Arzhel masih menatap.
Mungkin maksudhya kelakuan random Gua tadi, tapi karna Arzhel bingung dan canggung jadi ia tidak bisa menjelaskannya pada Gia.
Gia kebingungan sambil berusaha mengatur degup jantungnya yang meningkat. Kesekian kalinya, tatapan Arzhel terlalu dalam. Gia tidak bisa mengartikan apa yang ada dalam pikirannya melalui tatapan.
“Untuk kali pertamanya, sorot mata indah yang ngga bisa aku baca. Kali ini aku hanya bisa menebak.”
“Mau ciuman, bukan?”
Tebakan asal yang pastinya salah. Arzhel tidak merespon satu pergerakan pun. Dia malah memalingkan pandangannya. Seperti menghindari Gia.
“Pak, Arzhel?”
Dia bahkan tidak menoleh.
“Hei… Mau buk – ”
Ucapan tak lolos – terhenti dengan mulut Arzhel yang spontan menciumnya, dengan begitu, Gia spontan memejamkan matanya. Terlalu cepat terbawa afeksi.
Jelas Gia tidak pintar mencegah pikiran acaknya, Arzhel terlalu tiba-tiba. Dengan kebingungan, dia hanya mengikuti dan menikmati pikiran suaminya yang tidak terdengar satu kata pun olehnya.
Pikiran yang sempat mem-biru kembali menjadi merah muda. Bukan dengan berusaha menyembuhkan, tapi ia sembuh dengan sendirinya.
Gia tidak kesal. Ia tidak banyak meminta.
Perasaan bingung menguasai Arzhel setelah ia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Pikirannya terulang akan kelakuan nya yang tiba-tiba mencium Gia. Bahkan, dia meninggalkan tanda pada sudut bibir Gia. Arzhel menyentuh bibirnya seperti berpikir.
Pertanyaan Gia membuat dirinya ingin lebh tau perasaannya terhadap Gia. Ia suka dengan Gia. Ia bahkan jujur pada istrinya kalau tidak ada satupun perasaan kesal terhadap dirinya. Dia menyukai kehadiran Gia. Dia menikmati.
Yang jadi pertanyaan Arzhel apakah Gia adalah hatinya?
Sebesar dan sebanyak apa?
Arzhel menyentuh dadanya, memeriksa. “Apa jantung saya juga setuju?” Ia membutuhkan validasi.
“Jadi itu alasan Pak Arzhel tiba-tiba cium saya?” Gia tiba-tiba datang sambil membawa cangkir bekas miliknya, dan menaruhkannya di atas meja. “Pak Arzhel ragu? Atau butuh bukti dari keraguan Bapak?”
Arzhel membalikkan badannya.
Gia melihat tajam pada Arzhel dan tersenyum kecil. “Kalau bapak mau jawaban serius, saya bisa lakukan itu.”
Arzhel melangkahkan maju satu kakinya, “kamu,” dan menjeda, “perasaan seperti apa yang kamu rasakan setiap kita ciuman?”
Gia tersenyum miring.
“Mau jawaban jujur?”
Arzhel mengangguk.
“Wanna have baby from you,” jawab singkat Gia yang sangat membuat Arzhel menelan ludahnya sendiri. Entah perasaan seperti apa yang Gia rasakan saat itu, tapi jelas Arzhel sangat terkejut – membuat seluruh darah dalam tubuhnya mengalis cepat. “Ini beneran, Pak. Saya selalu ingin serius apapun itu soal Pak Arzhel.”
Ada yang menganggu pikirannya. Apakah benar setiap ucapan Gia? Apa ia hanya bermain dengan intuisi miliknya? dan meloloskannya melalui karakternya yang bebas? Atau…dia benar berkata demikian?
Arzhel tidak yakin.
Senyum iseng Gia berubah menjadi senyumannya yang asli.
Pak Arzhel, Bapak pasti nyangka ucapan saya ini bercanda, ya?
Tapi benar, Pak – sesekali pikiran itu muncul dan membuat satu ruang harapan pada hidup saya yang membosankan. Saya hanya…tidak percaya diri dengan kejujuran saya, Pak.
Perasaan canggung menguasai penuh ruangan bernuansa putih. Dengan ketidakpastian rasa, kini, mereka hanya menikmati tension yang tersisa.
“Saya bisa bikin Bapak senang.” Disela pagutan, Gia tersenyum nakal.
“Just call my name,” balas Arzhel. Mengizinkannya.
Saat itu,
sepertinya,
Gia resmi melanggar janjinya.
Ia memilih egois.
Ia memilih jujur.